Thursday, February 24, 2011

Tugas softskill metode ilmiah

PERTUMBUHAN DAN HASIL JAGUNG MANIS YANG DIPUPUK  BEBERAPA   MACAM PUPUK ORGANIK PADA SAAT YANG BERBEDA TERHADAP ANORGANIK


Tujuan
1) membandingkan pertumbuhan dan hasil jagung manis yang dipupuk berbagai macam pupuk organik pada saat yang berbeda terhadap pupuk anorganik,
(2) mendapatkan hasil yang terbaik pada macam dan saat pemberian pupuk organik dan ,
(3) mengetahui residu pupuk organik dan anorganik terhadap ameliorasi kesuburan tanah.
Latar belakang
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan dan hasil jagung manis yang dipupuk anorganik tidak berbeda nyata dengan pupuk organik  (G.sepium, T.diversifolia, dan kotoran  sapi).  Sedangkan masing-masing perlakuan didapatkan hasil bobot segar tongkol  secara berturut-turut adalah TO1 (8,5 ton ha-1), KO1 (8,2 ton ha-1), A (8,1 ton ha-1), TO2 (7,0  ton ha-1), KO2 (6,8 ton ha-1), GO2 (6,0 ton ha-1), dan GO1 (5.5 ton ha-1). Pupuk Organik memberikan simpanan terhadap ameliorasi kesuburan tanah yang lebih tinggi dibandinglan pupuk anorganik, sedangkan diantara pupuk organik, G. sepium  meskipun  hasilnya rendah, tetapi memberikan sumbangan residu pada tanah yang tertinggi.  Selain hasil tongkol segar, nilai ekonomis budidaya jagung manis juga diperoleh dari brangkasan  segar sebagai pakan ternak,  hasil tertinggi berturut-turut diperoleh pada perlakuan Tithonia diverisifolia, pupuk kotoran sapi  yang diberikan seminggu sebelum tanam, serta pupuk anorganik masing-masing sebesar 11,4, 11,2, dan 10,0 ton ha-1.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil
Kualitas Bahan Organik
Hasil analisis kimia pada Lampiran 2, didapatkan komposisi awal ketiga pupuk organik yang digunakan dalam penelitian ini merupakan bahan organik berkualitas tinggi, karena mengandung nisbah C/N < 12,  N > 2,5 %,  P > 0,25 %, lignin < 15 % dan polifenol < 4 %,  kecuali pupuk kotoran sapi mengandung N yang rendah (1,85 %) tetapi kandungan K tertinggi dan C-organiknya terendah, sehingga memiliki nisbah C/N yang terendah pula dari pupuk organik lainnya. Adapun komposisi kimia dari masing-masing pupuk organik bervariasi, seperti disajikan pada Lampiran 2.
                 
Luas Daun dan Bobot Kering Total Tanaman
Hasil uji banding ortogonal kontras menunjukkan bahwa perlakuan pupuk anorganik (A) tidak berbeda nyata dengan pupuk organik (O) terhadap perkembangan rata-rata luas daun dan bobot kering total tanaman pada semua umur pengamatan (Tabel 1).
Sedangkan perlakuan antar pupuk organik, yaitu kotoran sapi (K) dibandingkan pupuk hijau (T dan G), dan  saat pemberian pupuk organik seminggu sebelum tanam (O1) dibandingkan dua minggu sebelum tanam  (O2), juga menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap perkembangan luas daun dan bobot kering total tanaman. Hasil uji banding ortogonal kontras yang memperlihatkan perbedaan yang nyata adalah  T. diversifolia  dibandingkan dengan G. sepium..
Pada Tabel 1, perlakuan T. diversifolia menghasilkan rata-rata luas daun dan bobot kering total tanaman sebesar 7100,76 cm2 dan 121,24 g yang lebih tinggi dibandingkan G. sepium sebesar  6087,36 cm2  dan  92,51 g,  kecuali pada umur 14 hst, tidak berbeda nyata. Rata-rata perkembangan luas daun dan bobot kering total tanaman yang tertinggi pada masing-masing pupuk yang diberikan didapatkan  saat seminggu sebelum tanam pada perlakuan T. diversifolia (TO1) sebesar 7689,13 cm2 dan 132,38 g, dan kotoran sapi (KO1) sebesar 7273,97 cm2 dan 128,95 g, serta pupuk anorganik (A) sebesar  7407,29 cm2 dan126,11 g. Sedangkan yang terendah adalah perlakuan G. sepium seminggu sebelum tanam (GO1) sebesar 6089,05 cm2 dan 90,13 g , serta G. sepium dua minggu sebelum tanam (GO2) sebesar 6085,678 cm2 dan 94,89 g,  kecuali  pada umur 14 hari setelah tanam, ketujuh perlakuan memberikan pengaruh yang relatif sama.

Tabel 1.  Perkembangan Rata-rata Luas Daun dan Bobot Kering Total Tanaman Jagung Manis pada Berbagai Perlakuan


Perlakuan
Rata-rata luas daun (cm2)
pada umur (HST)
Rata-rata bobot kering total tanaman (g) pada umur (HST

14
28
42
56
14
28
42
56
A
579,40
2301,35
4353,68
7407,29
7,07
26,18
67,72
126,11
O
563,55
2044,54
4035,51
6676,91
6,64
23,65
62,76
110,54
A vs O
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
GO1
552,21 a
1814,99 a
3627,68 a
6089,05a
6,36 a
20,65 a
51,74 a
 90,13 a
GO2
558,60 a
1811,39 a
3731.33 ab
6085,68a
6,52 a
21,33 a
55,12 a
 94,89 a
TO1
572,13 a
2340,42 b
4440,13 c
7689,13a
7,98 a
26,25 b
72,11 c
132,38 b
TO2
564,29 a
2037,80 ab
4036,99 abc
6512,39a
6,52 a
24,42 ab
65,57 b
 110,10 ab
KO1
571,85 a
2233,55 ab
4300,28 bc
7273,97a
6,79 a
25,32 b
68,85 c
128,95 b
KO2
562,22 a
2029,11 ab
4076,66 abc
6411,27a
6,66 a
23,87 ab
63,17 b
 106,79 ab
A
579,40 a
2301,35 b
4353,68 bc
7407,29a
7,07 a
26,18 b
67,72 c
126,11 b
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang  sama  tidak   berbeda nyata
G     = Glyricidia sepium          T     = Tihonia diversifolia
K     = Kotoran sapi             A     = Pupuk anorganik
O1    = Saat pemberian pupuk organik semingu sebelum tanam
O2    = Saat pemberian pupuk organik dua minggu sebelum tanam
tn     = tidak berbeda nyata

       Tabel 2. Perkembangan Rata-rata Indeks Luas Daun (ILD) dan Laju Pertumbuhan  Pertanaman (LPP) pada Berbagai Perlakuan



Perlakuan
Rata-rata ILD pada umur (HST)
Rata-rata  LPP (gm-2hari-1) pada periode umur (HST)

14
28
42
56
14-28
28-42
42-56
A
0,21
0,82
1,55
2,65
6,50
14,13
19,86
O
0,20
0,73
1,44
2,38
5,79
13,3
16,25
A vs O
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
GO1
0,20 a
    0,65 a
  1,30 a
2,17 a
4,86 a
0,58 a
13,06 a
GO2
0,20 a
    0,65 a
  1,33 ab
2,17 a
5,04 a
11,49 a
 13,53 a
TO1
0,20 a
    0,84 b
  1,59 c
2,75 a
6,55 b
15,60 b
20,50 a
TO2
0,20 a
    0,73 ab
  1,44 abc
2,33 a
 6,09 ab
 14,00 ab
15,15 a
KO1
0,20 a
    0,80 b
  1,54 bc
2,60 a
6,32 b
14,79 b
 20,44 a
KO2
0,20 a
    0,72 ab
  1,46 abc
2,29 a
 5,86 ab
13,37ab
 14,84 a
A
0,21 a
    0,82 b
  1,56 bc
2,65 a
 6,50 b
14,13 b
 19,86 a
Keterangan :  Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang  sama  tidak berbeda nyata
G     = Glyricidia sepium             T    =  Tihonia diversifolia
K     = Kotoran sapi                A    =  Pupuk anorganik
O1    = Saat pemberian pupuk organik semingu sebelum tanam
O2    = Saat pemberian pupuk organik dua minggu sebelum tanam
tn    =  tidak berbeda nyata

Analisis Pertumbuhan Tanaman
Hasil uji banding ortogonal kontras menunjukkan bahwa perlakuan pupuk anorganik (A) tidak berbeda nyata dengan pupuk organik (O) terhadap perkembangan rata-rata indeks Luas Daun (ILD) dan Laju Pertumbuhan Pertanaman (LPP) pada semua umur pengamatan (Tabel 2).
Sedangkan perlakuan antar pupuk organik, yaitu kotoran sapi (K) dibandingkan pupuk hijau (T, dan G), dan  saat pemberian pupuk organik seminggu sebelum tanam (O1) dibandingkan dua minggu sebelum tanam  (O2), juga menunjukkan pengaruh  yang tidak berbeda nyata terhadap perkembangan indeks luas daun dan laju pertumbuhan pertanaman. Hasil uji banding ortogonal kontras yang memperlihatkan perbedaan yang nyata adalah  T. diversifolia  dibandingkan dengan G. sepium.
Pada Tabel 2, perlakuan T. diversifolia menghasilkan rata-rata ILD dan LPP sebesar 7100,76 cm2 dan 121,24 g yang lebih tinggi dibandingkan G. sepium sebesar  6087,36 cm2  dan  92,51 g,  kecuali pada umur 14 hst tidak berbeda nyata.
Rata-rata indeks Luas Daun (ILD), dan Laju Pertumbuhan Pertanaman (LPP) yang tertinggi pada masing-masing pupuk yang diberikan didapatkan  saat seminggu sebelum tanam pada perlakuan T. diversifolia (TO1) sebesar 2,75 dan 20,50 gm-2hari-1,  dan kotoran sapi (KO1) sebesar 2,60 dan 20,44 gm-2hari-1, serta  pupuk anorganik (A) sebesar 2,65 dan 19,86 gm-2hari-1. Sedangkan yang terendah adalah perlakuan G. sepium seminggu sebelum tanam (GO1) sebesar 2,17 dan 13,06 gm-2hari-1, dan  G. sepium dua minggu sebelum tanam (GO2) sebesar 2,17 dan 13,53 gm-2hari-1, kecuali  pada umur 14 hari setelah tanam, ketujuh perlakuan memberikan pengaruh yang relatif sama  (Tabel 2).

Bobot Segar Tongkol Jagung
Hasil uji banding ortogonal kontras menunjukkan bahwa perlakuan pupuk anorganik (A) tidak berbeda nyata dengan pupuk organik (O)  terhadap bobot segar tongkol persampel tanaman. Rata-rata bobot segar tongkol yang dihasilkan dari perlakuan pupuk anorganik sebesar 0,23 kg/sampel tanaman (setara dengan  8,1 ton ha-1) dan pupuk organik sebesar 0,20 kg/sampel  tanaman (setara dengan 7,0 ton ha-1), seperti disajikan pada Tabel 3.
Sedangkan perlakuan antar pupuk organik, yaitu kotoran sapi (K) dibandingkan pupuk hijau (T, dan G), dan  saat pemberian pupuk organik seminggu sebelum tanam (O1) dibandingkan dua minggu sebelum tanam  (O2), juga menunjukkan pengaruh  yang tidak berbeda terhadap bobot segar tongkol per sampel tanaman. Hasil uji banding ortogonal kontras yang memperlihatkan perbedaan  yang    nyata  adalah  T. diversifolia  dibandingkan  dengan G. sepium (Tabel 3).
Pada Tabel 3,  perlakuan T. diversifolia menghasilkan rata-rata bobot segar tongkol persampel tanaman 0,22  kg (setara dengan 7,7 ton ha-1) yang lebih tinggi dibandingkan        G. sepium sebesar  0,16 kg (5,5 ton ha-1).
Rata-rata bobot segar tongkol jagung manis  per sampel tanaman yang tertinggi pada masing-masing pupuk yang diberikan didapatkan pada saat seminggu sebelum tanam 

       Tabel 3 :  Rata-Rata Bobot Segar Tongkol / Sampel  Tanaman  Jagung Manis pada  Berbagai Perlakuan

Perlakuan
Rata-rata BS tongkol / sampel tanaman (kg)
Konversi rata-rata BS tongkol/sampel (ton ha-1)
A
0,23
8,1
O
0,20
7,0
A vs O
tn
tn
GO1
 0,16 a
5,5
GO2
 0,17 a
6,0
TO1
 0,24 b
8,5
TO2
   0,20 ab
7,0
KO1
 0,23 b
8,1
KO2
   0,19 ab
6,8
A
 0,23 b
8,1
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda  nyata
G    = Glyricidia sepium          T    = Tihonia diversifolia
 K    = Kotoran sapi             A    = Pupuk anorganik
 O1   = Saat pemberian pupuk organik semingu sebelum tanam
 O2   = Saat pemberian pupuk organik dua minggu sebelum tanam
 tn    =  tidak nyata              

pada perlakuan T. diversifolia (TO1) sebesar 0,24 kg/sampel tanaman (setara dengan 8,5 ton ha-1),    kotoran sapi seminggu sebelum tanam (KO1) dan  pupuk anorganik (A) masing-masing sebesar 0,23 kg/sampel tanaman (setara dengan 8,1 ton ha-1). Sedangkan yang terendah adalah perlakuan G. sepium seminggu sebelum tanam (GO1) sebesar 0,16 kg/sampel tanaman (setara dengan 5,5 ton ha-1), serta G.sepium dua minggu sebelum tanam (GO2) sebesar 0,17 kg/sampel tanaman (setara dengan 6,0 ton ha-1). Meskipun  T.diversifolia seminggu sebelum tanam secara statistik tidak berbeda dengan pupuk anorganik terhadap bobot segar tongkol, tetapi secara kuantitas masih memberikan hasil yang lebih tinggi  (Tabel 3).

Sifat Kimia Tanah dan Jumlah Serapan Hara  oleh Tanaman
Hasil analisis kimia tanah menunjukkan bahwa pada tanah yang dipupuk organik memberikan simpanan terhadap ameliorasi kesuburan tanah pada residu akhir panen yang lebih tinggi dibandingkan pupuk anorganik. Hal ini dapat dilihat dari kandungan Corganik, N, P, K, dan KTK tanah (Lampiran 2), dimana pupuk organik memberikan sumbangan  1,30 % C,  0,17 % N,  31,61 mg kg-1 P, 1,10 me/100 g  K, dan  KTK 32 ,66 me/100 g  yang lebih tinggi dibandingkan pupuk anorganik, yaitu sebesar 1,23 % C, 0,16 % N, 25,34 mg kg-1, 0,62 me/100 g, dan KTK 28,77 me/100 g. Sedangkan diantara pupuk organik yang diberikan, G. sepium memberikan sumbangan yang tertinggi terhadap ameliorasi kesuburan tanah dibandingkan pupuk organik lainnya.
Hasil analisis kimia terhadap jumlah hara yang diserap tanaman, yang diamati pada periode  silking (Lampiran 3), didapatkan bahwa kandungan N, P, dan K tertinggi diperoleh secara berturut-turut  pada perlakuan T. diversifolia seminggu sebelum tanam (TO1), pupuk kotoran sapi  seminggu sebelum tanam (KO1), pupuk anorganik  (A), pupuk kotoran sapi dua minggu sebelum tanam (KO2), T. diversifolia dua minggu sebelum tanam (KO2), G. sepium dua minggu sebelum tanam (GO2) dan G. sepium seminggu sebelum tanam (GO1).

Pembahasan Umum

Pertumbuhan dan Hasil Jagung Manis pada Perlakuan Pupuk  Organik Dibandingkan Anorganik
 Pertumbuhan dan hasil jagung manis yang dipupuk organik tidak berbeda dengan yang dipupuk anorganik. Hasil bobot segar tongkol jagung manis didapatkan sebesar 7,0 ton ha-1 pada perlakuan pupuk organik, dan 8,1 ton ha-1 yang dipupuk anorganik (Tabel 3). Hal ini disebabkan pupuk organik yang digunakan merupakan pupuk organik berkualitas tinggi, artinya proses laju dekomposisi dan mineralisasi berjalan cepat setelah dibenamkan kedalam tanah, sehingga mampu melepaskan hara juga dengan cepat, baik dalam jumlah maupun waktu ketersediaannya sinkron dengan kebutuhan tanaman, sama seperti pemberian pupuk anorganik. Hal ini dapat dilihat dari jumlah hara N, P, dan K yang terserap tanaman antara pupuk organik dengan anorganik jumlahnya relatif sama, dan sedikit menyediakan hara (residu) yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman yang ditanam berikutnya, karena dapat menyediakan hara bagi tanaman dalam waktu yang cepatpertumbuhan (Lampiran 3 dn 4). Sedangkan pupuk organik dikatakan  berkualitas    tinggi,  karena mengandung C/N nisbah < 12, lignin < 10 %, polifenol < 4 %, dan N > 3 % (Lampiran 1).   Palm dan Sanchez (1991) menyatakan  bahwa nisbah C/N, lignin dan polifenol merupakan parameter yang dapat dipergunakan dalam pendugaan kecepatan dekomposisi dan mineralisasi dari bahan organik. Hairiah (1999) menyatakan bahwa bahan organik  berkualitas tinggi bila nisbah C/N < 20,  lignin < 15 %, dan polifenol < 4 %.   Handayanto (1994) menambahkan bahwa N bahan organik segera termineralisasi bila mengandung lignin dan polifenol yang rendah.
Meskipun pertumbuhan dan hasil yang dipupuk organik tidak berbeda  dengan pupuk anorganik, tetapi pupuk organik memberikan nilai tambah yang lain, yaitu menghasilkan residu pada akhir panen, berupa simpanan terhadap ameliorasi kesuburan tanah yang lebih tinggi,  berupa Corganik, N, P, K, dan KTK tanah pada residu akhir panen dibandingkan pupuk anorganik (Lampiran 2). Hal ini sesuai dengan pendapat Sanchez (1992), bahwa keunggulan pemberian pupuk organik dibandingkan pupuk anorganik adalah meningkatkan kandungan bahan organik, nitrogen organik, P, K, dan Cadd, sehingga mengakibatkan kenaikan pH yang nyata. Handayanto (1998) menambahkan keunggulan bahan organik adalah selain unsur makro yang dilepaskan seperti N, P, K, Ca dan Mg, juga dilepaskan beberapa unsur mikro, asam-asam organik yang berfungsi dalam perbaikan KTK, pH, sifat fisisk, dan biologi tanah, sedikit vitamin, dan zat pengatur tumbuh, yang semuanya ini sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman.

Pertumbuhan dan Hasil Jagung Manis antar Perlakuan
Berdasarkan hasil  perbandingan rata-rata, pertumbuhan dan hasil tanaman yang tertinggi diantara ketujuh perlakuan,  diperoleh pada saat pemberian seminggu sebelum tanam pada perlakuan T. diversifolia (TO1) dan kotoran sapi (KO1), serta pupuk anorganik (A), dan yang terendah pada perlakuan G. sepium yang diberikan 1 dan 2 minggu sebelum tanam (GO1, dan GO2).
                Rata-rata luas daun dan bobot kering total tanaman tanaman jagung manis yang tertinggi didapatkan pada saat seminggu sebelum tanam pada perlakuan TO1 yaitu sebesar 7689,13 cm2 dan 132,38 g, dan KO1 sebesar 7273,97 cm2 dan 128,95 g, serta  A (pupuk anorganik) sebesar 7407,30 cm2 dan 126,11 g.  Hal ini disebabkan ketiga perlakuan tersebut mampu memberikan hara N dan K yang lebih tinggi daripada perlakuan lainnya, artinya ketiga perlakuan tersebut diduga proses dekompoisisi dan mineralisasi paling cepat, dan  yang paling sinkron dalam melepaskan hara baik dalam jumlah,  maupun saat kebutuhan tanaman untuk melakukan proses metabolisme dalam kehidupannya (Lampiran 3). Jagung merupakan tanaman yang banyak menyerap N, sehingga tinggi rendahnya N sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman jagung. Tanaman bila mendapatkan  N yang cukup maka daun akan tumbuh besar dan memperluas permukaannya. Permukaan daun yang lebih luas memungkinkan untuk menyerap cahaya matahari yang banyak sehingga proses fotosintesa juga berlangsung lebih cepat, akibatnya fotosintat yang terbentuk akan terakumulasi pada bobot kering tanaman yang lebih bobot.  Meskipun penambahan luas daun akan berkurang atau berhenti pada saat tanaman memasuki fase pembungaan, tetapi bobot tanaman akan mengalami peningkatan bobot kering seiring dengan bertambahnya  umur (Gardner et al., 1991). Selanjutnya  Poerwowidodo (1992), Syekhfani (1997), dan Novizan (2002), bahwa N merupakan unsur yang berpengaruh cepat terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman, dan bila kecukupan N maka daun tanaman akan tumbuh besar dan memperluas permukaannya. Selain N, ketiga perlakuan tersebut juga menghasilkan K yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan lainnya, dimana fungsi kalium dalam tanaman dapat merangsang jaringan meristematik yang memungkinkan bertambahnya luas permukaan daun, dan sebagai akibatnya akan meningkatkan bobot kering total tanaman (Mengel dan Kirkby, 1979 ; Agustina, 1990).
Rata-rata luas daun dan bobot kering total tanaman pada umur 14  hari setelah tanam, antar perlakuan memberikan pengaruh yang relatif sama. Hal ini disebabkan pada awal pertumbuhan tanaman belum dipengaruhi oleh perlakuan pemupukan, karena tanaman masih mendapatkan nutrisi dari  cadangan makanan dalam biji, meskipun  akar dan daun telah terbentuk, tapi karena ukurannya masih kecil, sehingga belum mampu memanfaatkan unsur hara (khususnya N) atau mensintesis karbohidrat secara maksimal untuk mendukung pertumbuhannya. dan sebagai akibatnya menghasilkan luas daun yang hampir sama. Dengan luas daun yang tidak berbeda, juga tentunya menghasilkan bobot kering yang relatif sama, karena fotosintat yang dihasilkan juga relatif sama. Hal ini sesuai dengan pendapat Lakitan (1995) bahwa, pada fase awal pertumbuhan tanaman, pertumbuhan yang berlangsung masih diimpor dari bahan cadangan yang tersimpan dalam endosperm, keping biji, dan perisperm, dan sebelum bahan cadangan habis terurai, akar dan daun yang terbentuk mulai berfungsi untuk menyerap air dan unsur hara, serta mensintesis karbohidrat untuk mendukung pertumbuhannya, tapi dalam fase awal penyerapan air maupun unsur hara belum maksimal. Selain itu  Tirtoutomo et al., (1991) menyatakan bahwa sampai umur 15 hst jagung hanya dapat mengambil 0,81-1,47 % N yang diberikan pada saat tanam, dan belum mampu memanfaatkannya secara maksimal, karena daun dan perakarannya baru terbentuk dan berkembang.
                Rata-rata indeks Luas Daun  (ILD), dan Laju Pertumbuhan Pertanaman (LPP) jagung manis yang tertingi diperoleh pada saat pemberian seminggu sebelum tanam pada perlakuan TO1 sebesar 2,75 dan 20.50 g m-2hari-1,  dan KO1 sebesar 2,60 dan 20,44 gm-2hari-1 , serta pupuk anorganik (A) sebesar 2,65 dan 19.86 gm-2hari-1 (Tabel 2). Hal ini disebabkan   ketiga    perlakuan ini memberikan luas daun yang terluas, dimana perkembangan indeks luas daun sejalan dengan perkembangan luas daun. Indeks luas daun yang semakin tinggi, akan lebih cepat  dalam memanfaatkan cahaya matahari dalam mengassimilasi CO2, sehingga hasil fotosintesa (fotosintat) juga meningkat. Fotosintat yang semakin meningkat selanjutnya dapat memenuhi kebutuhan respirasi dalam proses metabolisme tanaman, dan sebagai akibatnya akan meningkatkan laju pertumbuhan pertanaman. Tetapi peningkatan luas daun lebih lanjut hanya akan menaungi daun yang lebih bawah, yang kemudian tidak dapat menghasilkan cukup fotosintesis untuk memenuhi kebutuhan respirasi, dan mengakibatkan penggunaan produk fotosintesa dari daun yang lain (parasit), sehingga menurunkan laju pertumbuhan tanaman. Hal ini sesuai dengan pendapat Gardner et al., (1991), Sitompul dan Guritno (1995) bahwa pola perkembangan indeks luas daun mengikuti pola perkembangan luas daun. Selanjutnya Sugito (1999), bahwa  semakin cepat atau banyak enersi matahari yang dapat ditangkap, laju pertumbuhan tanaman semakin cepat, dan semakin cepat pula tajuk tanaman menutupi tanah, dan sebagai akibatnya kehilangan enersi matahari dapat segera dikurangi.
Rata-rata bobot segar tongkol per sampel tanaman jagung manis yang terbobot didapatkan juga  pada saat seminggu sebelum tanam pada perlakuan TO1 sebesar 0,24 kg, dan KO1 sebesar 0,23 kg, serta pupuk anorganik (A) sebesar  0,23 kg. Hal ini disebabkan ketiga perlakuan tersebut memberikan pertumbuhan awal (pertumbuhan vegetatif) yang optimal, sehingga memberikan kondisi yang seimbang antara kebutuhan tanaman akan nutrisi untuk pertumbuhan selanjutnya. sampai memasuki fase generatif, dan sebagai akibatnya akan  memberikan hasil panen yaitu bobot segar tongkol yang lebih tinggi dari perlakuan lainnya. Pertumbuhan yang optimal dapat dilihat dari perkembangan luas daun, pertambahan bobot kering, Laju Pertumbuhan Pertanaman (LPP), dan indeks Luas Daun (ILD), serta  jumlah serapan N, dan K dalam tanaman pada saat silking paling tinggi, walaupun kandungan P antar perlakuan lain relatif sama. Menurut Syarief (1986), bahwa ketersediaan nutrisi/hara yang cukup  yang dapat diserap untuk pertumbuhan tanaman, merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi hasil. Selanjutnya Gardner et al., (1991) menyatakan untuk mendapatkan hasil panen yang tinggi, tanaman budidaya harus dapat menghasilkan ILD yang cukup (umumnya sekitar 5, tetapi ILD tanaman jagung sekitar 3), agar dapat menyerap sebagian besar cahaya dengan cepat dan banyak, dan membagikan hasil assimilasinya dalam kuantitas terbesar ke organ-organ yang mempunyai nilai ekonomi.  Investasi hasil assimilasi dalam pertumbuhan tanaman selama periode vegetatif menentukan produktifitas pada tingkatan perkembangan selanjutnya, termasuk jumlah biji selama anthesis.
Meskipun T. diversifolia yang dibenamkan seminggu sebelum tanam  dibandingkan pupuk anorganik secara statistik memberikan hasil yang tidak berbeda nyata terhadap bobot segar tongkol, tetapi secara kuantitas T. diversifolia menghasilkan bobot segar tongkol yang lebih tinggi. Hal ini berarti T. diversifolia mempunyai nilai tambah dibandingkan pupuk anorganik, karena selain memberikan bobot segar tongkol yang lebih tinggi, juga memberikan residu terhadap ameliorasi kesuburan tanah.
Kelebihan T. diversifolia ini dibanding-kan pupuk anorganik disebabkan selain mempunyai kandungan hara yang tinggi seperti N, P,  juga mengandung asam-asam organik seperti asam sitrat, oksalat, humat, fumat, sehingga mampu melepaskan P yang terjerap di tanah  dan memperbaiki pH tanah, dan bahan ameliorasi lainnya yang tidak dimiliki pupuk anorganik.  Stevenson (1982) menyatakan bahwa asam-asam organik seperti asam sitrat, asam oksalat mempunyai kemampuan mengkelat Al dan Fe, sehingga terjadi pelepasan P. Selanjutnya Pratikno (2002) melaporkan bahwa T. diversifolia merupakan bahan pangkasan yang berkualitas tinggi dengan kandungan C-organik 45,9 %,  N-total 5,31 % dan P-total 0,47 % yang tinggi, serta nisbah C/N, lignin dan polifenol yang rendah. Pemberian T. diversifolia dapat menurunkan pH tanah yang tinggi pada tanah berkapur sebesar 6,6 pada minggu ke-8 setelah inkubasi, serta mempunyai laju dekomposisi yang cepat, sehingga mampu menyediakan P dalam waktu yang cepat, yaitu mencapai 92 % di fase awal pertumbuhan tanaman (minggu ke-2 inkubasi).  Selanjutnya Hal ini berarti kecepatan dalam penyediaan hara dari T. diversifolia ini juga relatif sama cepatnya dengan pupuk anorganik, tetapi mempunyai kelebihan dari sisi lainnya.

Pertumbuhan dan Hasil Jagung Manis pada Berbagai Macam Pupuk Organik, dan Saat  Pemberian Yang Berbeda
Hasil  banding ortogonal kontras, menunjukkan bahwa  perlakuan pupuk hijau  versus pupuk  kotoran sapi,  pupuk organik yang diberikan 1  versus 2 minggu sebelum tanam, memberikan pengaruh yang tidak berbeda terhadap  luas daun, bobot kering,  indeks luas daun, laju pertumbuhan pertanaman, dan hasil jagung manis, kecuali antar perlakuan pupuk hijau, yaitu Tithonia diversifolia versus Glyricidia sepium berbeda nyata.
Pemberian pupuk kotoran sapi  (K) tidak berbeda nyata  dengan pupuk hijau (G.sepium, dan T.diversifolia) terhadap pertumbuhan dan hasil jagung, karena kedua kelompok pupuk tersebut merupakan pupuk organik yang berkualitas tinggi, sehingga proses dekomposisi dan mineralisasinya akan berjalan seimbang, dan  akan melepaskan hara/nutrisi kepada tanaman juga sama, dan sebagai akibatnya memberikan pertumbuhan dan hasil yang relatif sama. Hal ini dapat dilihat dari  nisbah C/N, kandungan lignin dan polifenol yang rendah, yaitu   C/N < 10, lignin < 10 % , dan polifenol < 4 %.
 Demikian pula pemberian pupuk organik yang dibenamkan seminggu sebelum tanam (O1) tidak berbeda nyata dengan yang dibenamkan dua minggu sebelum tanam (O2).  Hal ini  disebabkan waktu pembenaman pupuk  kotoran sapi, T. diversifolia dan G. sepium tersebut selangnya terlalu dekat, sehingga jumlah hara yang dilepaskan juga tidak berbeda dalam mempengaruhi pertumbuhan dan hasil tanaman. Jumlah hara yang relatif sama ini, dapat dilihat dari rata-rata serapan N, P, dan K oleh tanaman jagung pada periode silking, baik yang diberikan seminggu sebelum tanam maupun dua minggu sebelum tanam, dan sebagai akibatnya memberikan pertumbuhan dan hasil yang relatif sama.
Sedangkan  antar pupuk hijau,  T. diversifolia  berbeda nyata dengan G. sepium  terhadap pertumbuhan dan  hasil tanaman jagung.
T. diversifolia menghasilkan rata-rata luas daun 7100,8 cm2, bobot kering total tanaman 121,24 g, ILD 2,54, dan LPP 17,82 gm-2hr-1, yang lebih tinggi dibandingkan  G. sepium yaitu 6087,4 cm2, 92,51 g,  2,17 dan 13,29 gm-2hr-1.  Hal ini disebabkan T. diversifolia mempunyai laju dekomposisi yang cepat, sehingga diikuti pelepasan hara, khususnya N dari mineralisasi. Tanaman jagung manis memerlukan unsur hara N yang banyak selama masa fase pertumbuhan vegetatif (pertumbuhan awal) karena berumur genjah, sehingga diperlukan suatu bahan organik yang mempunyai laju dekomposisi dan mineralisasi lebih cepat pula serta memiliki kandungan N yang tinggi agar dapat terjadi sinkronisasi. Hal ini dapat dilihat dari T. diversifolia memiliki kandungan N sebesar 4,30 % yang lebih tinggi daripada G. sepium sebesar 3,54 %. Sebaliknya  G. sepium  kandungan C-organiknya juga lebih tinggi dari T. diversifolia, dimana kandungan C-organik yang tinggi akan menurunkan laju dekomposisi, karena masih banyaknya fraksi tahan lapuk dalam bahan pangkasan seperti selulosa, lemak, dan lilin yang terdekomposisi dalam waktu yang lama. Setijono (1996) menyatakan bahwa bahan organik dengan kandungan C-organik rendah akan lebih cepat termineralisasi karena laju dekomposisi bahan organik meningkat. Selanjutnya Hasil penelitian Pratikno (2002) melaporkan bahwa terdapat korelasi yang sangat nyata antara kecepatan dekomposisi dengan kandungan C-organik, dimana peningkatan kandungan C-organik bahan organik akan menurunkan kecepatan dekomposisi.  Jama et al., (1999) menambah-kan bahwa T. diversifolia mempunyai laju dekomposisi yang cepat, dimana pelepasan N terjadi sekitar satu minggu, dan pelepasan P dari biomass tanaman terjadi sekitar dua minggu setelah dibenamkan ke dalam tanah.
Sinkronisasi menurut Myers et. al., (1997)  adalah matching menurut waktu antara ketersediaan unsur hara dan kebutuhan tanaman akan unsur hara.  Apabila penyediaan unsur hara tidak match, maka akan terjadi difisiensi unsur hara atau kelebihan unsur hara, meskipun jumlah total penyediaan sama dengan jumlah total kebutuhan.  Sedangkan tidak terjadinya sinkoronisasi disebut asinkroni disebabkan dua hal yakni jika penyediaan yang terjadi lebih lambat untuk kebutuhan atau jika penyediaan terjadi lebih awal dibanding kebutuhan pada situasi dimana unsur hara yang tersedia melebihi kebutuhan tanaman, sehingga mempunyai resiko hilang dari sistim atau dikonversi menjadi bentuk-bentuk yang tidak tersedia.
Rata-rata bobot segar tongkol yang dihasilkan dari perlakuan T. diversifolia adalah, 0,22 kg per tanaman (setara 7,9 ton ha-1) lebih bobot dibandingkan dengan G. sepium sebesar 0,16 kg per tanaman (setara 5,7  ton ha-1).   Hal ini disebabkan T. diversifolia mampu memberikan pertumbuhan vegatatif yang lebih baik seperti luas daun, bobot kering total, indeks luas daun, dan laju pertumbuhan pertanaman yang lebih tinggi, sehingga akan memberikan pertumbuhan selanjutnya yang lebih baik sampai fase generatif, dan sebagai akibatnya menghasilkan bobot segar tongkol yang lebih besar.
Sebaliknya  G. sepium memberikan pertumbuhan dan hasil yang lebih rendah dibandingkan T. diversifolia. Hal ini disebabkan  kandungan C-organik yang lebih tinggi dan juga polifenol yang agak tinggi (3,98 %) dari G. sepium, sehingga  lebih lambat dalam dekomposisi dan mineralisasinya, akibatnya saat melepaskan hara tidak sinkron dengan saat kebutuhan tanaman. Pada Lampiran 3 dapat dilihat hasil residu akhir panen, simpanan C-organik, N-total, P-tersedia dan K-tersedia, serta KTK tanah  yang lebih tinggi, sebaliknya jumlah hara N, P, dan K yang terserap tanaman jagung yang paling rendah dibandingkan dengan T. diversifolia.
Pendugaan kandungan C-organik dan polifenol pada G. sepium ini, karena hasil penelitian ini berbeda dengan yang dilaporkan Pratikno (2002) bahwa G. sepium dan T. diversifolia laju proses dekomposisi lebih cepat dibandingkan perlakuan pupuk hijau lainnya, karena mengandung polifenol dan C-organik yang lebih rendah, sehingga tidak banyak memberikan sumbangan pada tanah. Dan ini diperkuat oleh  Suntoro et al., (2001) yang menyatakan bahwa komposisi kimia bahan organik dapat berbeda, tergantung dari keadaan lingkungan bahan organik tersebut didapatkan.

Perbandingan Kesuburan Tanah antara yang Dipupuk Organik dan Anorganik
Pemberian pupuk organik  dapat memperbaiki atau meningkatkan  kesuburan pada tanah dibandingkan dengan  pupuk anorganik. Hal ini  karena pupuk organik mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan pupuk anorganik, selain proses pelepasan hara secara bertahap, juga dalam pupuk organik terkandung beberapa bahan lainnya yang dapat memperbaiki kesuburan tanah. Sedangkan pupuk anorganik hanya mengandung satu atau lebih unsur hara, yang segera terurai ditanah, dan langsung tersedia bagi tanaman, sehingga sedikit residu yang ditinggalkan pada tanah, serta tidak ada bahan  lain yang bersifat ameliorasi terhadap kesuburan tanah. Perbaikan kesuburan tanah  ini ditunjukkan dengan nilai simpanan pada residu akhir panen pada tanah yang diberi pupuk organik, seperti kandungan Corganik, N, P, dan K, serta KTK lebih tinggi dibandingkan dengan pupuk anorganik (Lampiran 2). Hal ini sesuai dengan Sanchez (1992) menyatakan bahwa keunggulan pemberian pupuk organik dibandingkan pupuk anorganik adalah meningkatkan kandungan tanah akan karbon organik, nitrogen organik, P, K, dan Cadd, sehingga mengakibatkan kenaikan pH yang nyata. Lebih lanjut Syekhfani (1997) menyatakan bahwa pupuk organik sering digunakan dalam ameliorasi kesuburan tanah, untuk memperbaiki sifat fisika, kimia dan biologi tanah, meskipun  untuk pemupukan yang bertujuan meningkatkan produksi dapat dilakukan, tapi masih dibutuhkan dalam jumlah besar.
Sedangkan diantara pupuk organik,   G. sepium memberikan sumbangan terhadap ameliorasi tanah yang lebih baik pada residu akhir panen.  Hal ini karena pupuk organik lainnya (T. diversifolia, dan kotoran sapi) proses laju dekomposisi yang cepat karena sedikit mengandung bahan yang tahan lapuk (C-organik yang rendah) dan juga mengandung polifenol yang lebih rendah dibandingkan G. sepium, sehingga pelepasan hara lebih cepat dan segera dimanfaatkan langsung oleh tanaman, akibatnya memberikan sumbangan nutrisi di tanah sedikit. Sedangkan G. sepium karena diduga masih ada bahan lapuk dari bahan organik ini yang belum terdekomposisi sempurna, sehingga menyisakan residu yang lebih banyak pada akhir panen.

Nilai Tambah  Limbah Budidaya Jagung Manis
                Limbah jagung manis berupa brangkasan segar  masih   mempunyai nilai tambah ekonomi yang berguna sebagai pakan ternak berkualitas tinggi, selain karena gizinya,  rasa manisnya disukai oleh ternak. Berdasarkan hasil yang didapat, maka rata-rata bobot brangkasan segar tertinggi pada perlakuan pupuk organik dan anorganik (Lampiran 4), secara berturut-turut diperoleh pada perlakuan T. diversifolia  seminggu sebelum tanam (TO1), kotoran sapi seminggu sebelum tanam (KO1), pupuk anorganik (A), T. diversifolia dua minggu sebelum tanam (TO2), kotoran sapi dua minggu sebelum tanam (KO2), G. sepium dua minggu sebelum tanam (GO2), dan G. sepium seminggu   sebelum   tanam (GO1) adalah 11,4,  11,2,  10,0, 9,5,  9,2,  7,9 dan  6,9 ton ha-1. 

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1.       Pertumbuhan dan hasil jagung manis yang dipupuk organik tidak berbeda dengan anorganik.
2.       Hasil bobot segar tongkol secara berturut-turut adalah T. diversifolia seminggu sebelum tanam (8,5 ton ha-1), pupuk kotoran sapi seminggu sebelum tanam (8,2 ton ha-1), pupuk anorganik (8,1 ton ha-1),            T. diversifolia dua minggu sebelum tanam (7,0  ton ha-1), pupuk kotoran sapi dua minggu sebelum tanam (6,8 ton ha-1), G. sepium dua minggu sebelum tanam (6,0 ton ha-1), dan G.sepium  seminggu sebelum tanam (5,5 ton ha-1).
3.       Antara pupuk kandang dengan pupuk hijau memberikan pengaruh yang relatif sama, kecuali antara pupuk  hijau, yaitu T. diversifolia dengan G. sepium. T. diversifolia menghasilkan bobot segar tongkol  7,9 ton ha-1, sedangkan G. sepium 5,7 ton ha-1.
4.       Pertumbuhan dan hasil jagung manis pada masing-masing jenis pupuk organik, saat pemberian seminggu dan dua minggu sebelum tanam  relatif sama.
5.       Pemberian pupuk organik memberikan sumbangan yang lebih tinggi dalam hal simpanan terhadap ameliorasi kesuburan tanah pada residu akhir panen dibandingkan pupuk anorganik, dan diantara pupuk organik G. sepium  memberikan sumbangan yang tertinggi.
Saran
1.        Dalam budidaya jagung manis, pemberian pupuk organik dapat dipertimbangkan sebagai alternatif pengganti pemupukan anorganik, dan sekaligus dalam memperbaiki kesuburan tanah.
2.        T. diversifolia dan  kotoran sapi yang dibenamkan seminggu sebelum tanam  memberikan nilai tambah ekonomi yang lebih tinggi (11,4 dan 11,2 ton ha-1) dibandingkan pupuk anorganik (10,0 ton ha-1) terhadap limbah jagung manis berupa  brangkasan segar untuk pakan ternak.
3.        Perlu dilakukan penelitian yang sama, dengan dua musim tanam yang berurutan.
4.        Perlu dilakukan penelitian yang sama untuk melihat kadar gula reduksi dan lamanya terjadi perubahan gula menjadi pati setelah panen, karena mutu hasil jagung manis ditentukan dari lamanya perubahan kadar gula reduksi tersebut.


SUMBER= http://www.findtoyou.com/document/metode+ilmiah+jagung.html

No comments:

Post a Comment